Saturday, July 28, 2018

zan patch

zan patch
for pes 2017 new season 2019

coming soon....

Sunday, October 23, 2011

Meratapi Dampak Ekonomi Merapi

Merapi seperti ingin menghabiskan beban di perutnya. Hujan abu vulkanik dan wedus gembel (awan panas) pun menyebar ke seluruh penjuru angin. Semua lalu luluh lantak. Tak ada lagi dedaunan hijau, tak ada canda-tawa dan denyut kehidupan di sekitar Merapi, yang ada hanya lautan abu vulkanik berwarna abu-abu.
Lahan pertanian di sekitar lereng Merapi hancur lebur, wisata Yogyakarta pun terseok-seok hingga terjatuh. Napas ekonomi Yogyakarta seperti terhenti sejenak dan kemudian tersengal-sengal. Ya, Merapi masih bagian yang tak terpisahkan dari napas ekonomi kota budaya ini.
Merapi telah merenggut ratusan jiwa dan ribuan lainnya harus rela menjadi pengungsi. Merapi telah menghancurkan ribuan pohon salak di radius 10 km yang terkena awan panas, menggagalkan petani cabai untuk menikmati hasil panennya, menyurutkan keceriaan petani jagung yang lahannya tertutup abu vulkanik, membuat petani harus telaten membersihkan abu vulkanik yang melekat di gabah. Hewan ternak bergelimpangan meregang nyawa. Dan pohon kelapa mati menanggung berat abu vulkanik.Hanya penambang pasir yang bersyukur mendapat limpahan pasir dari pucuk merapi.
Merapi kini sedikit demi sedikit mulai terlihat ramah. Semoga Merapi benar-benar tak akan memuntahkan lagi beban di perutnya. Semoga kita pun bisa memahami Merapi dengan kearifan yang kita miliki.


Asa dari Kolong Tol Pluit


Berangkat Sekolah










Cahaya sore menerpa tiang-tiang beton penyangga Tol Pluit, Jakarta Utara. Di tengah bayangan tiang itulah tempat favorit sekelompok bocah untuk bermain bola atau sekadar bercanda dengan beberapa biji mercon jenis air mancur.
Dalam kesederhaan, para bocah itu menemukan kesenangan. Salah satunya Ramdani, bocah tujuh tahun ini terlihat riang dan sesekali usil di antara temannya.
Keriangan Ramdani usai ketika sang ibu memanggilnya dan meminta segera mandi. Saropah, 28 tahun, sosok ibu yang mandiri menghidupi anak-anaknya dengan hasil mencuci pakaian warga rumah susun. Suaminya telah meninggal dunia setahun lalu karena jatuh sakit.
Saropah bersama anaknya, Ramdani dan Sahrul yang masih bayi tinggal di bawah kolong tol, di antara tiang-tiang beton dan sekat-sekat serta tumpukan barang bekas. Hanya sebuah tempat tidur kayu dengan kelambu serta televisi 14 inci yang menjadi barang berharga.
Meskipun hidup seadanya, namun bagi Saropah masa depan harus tetap ada. Kedua anaknya adalah harapan. Terutama si sulung Ramdani yang dia sekolahkan ke Sekolah Madrasah Ibtidaiyah Raudlatul Islamiyah.
Sebelumnya, Ramdani pernah sekolah di SD Negeri di Wacung, Penjaringan, Jakarta Utara. Namun empat bulan mengecap pelajaran, ibunya mengeluarkan dari sekolah karena tidak tega melihat anaknya selalu menangis di sekolah.
“Perhatiaan guru cuma sama murid yang bisa baca dan berhitung saja. Karena dia tidak bisa dan hanya bertahan empat bulan terus Dani saya keluarkan, Sebetulnya sekolahnya gratis cuman saya tidak tega,” katanya.
Kini Ramdani kembali bersekolah. Meski belum membayar uang pangkal, namun tidak terbersit sedikitpun keraguan bagi Saropah untuk tetap menyekolahkan anaknya. Ia berharap kelak anaknya menjadi lebih baik, tidak seperti dirinya yang hanya bersandar hidup sebagai buruh cuci. 









Wednesday, October 5, 2011

Banjir di Iran








Kereta bayi yang unik dan Extreme

Tuesday, September 13, 2011

Musim Hujan di India













Banjir Parah di China